Ambivalensi Keberpihakan dan Melepas Identitas Belanda dalam “Selamat Tinggal Hindia” karya Iksana Banu

Dewaiwana
8 min readOct 18, 2021

--

sebuah aplikasi postcolonialism

Selamat Tinggal Hindia menceritakan sebuah hubungan tak romantis dari Martinus Witkerk dan Maria Geertruida Welwillend atau yang dalam cerita disebut sebagai Geertje. Iksana Banu membawa kita sebagai pembaca dalam sudut pandang Martinus seorang wartawan sebuah surat kabar bernama De Telegraaf dalam mengenal tokoh Geertje. Geertje adalah perempuan berdarah Belanda yang lahir dan besar di Indonesia atau dalam era itu dikenal dengan Hindia-Belanda. Ia juga seorang guru di sekolah pribumi. Representasi ideologi, pemikiran dan ambivalensi keberpihakan tanah air Geertje dinarasikan oleh Iksana Banu melalui sudut pandang Martinus sebagai “aku” dalam cerita ini. Martin bertemu dengan Geertje untuk pertama kali, dalam kunjunganya ke Kamp Tawanan Struiswijk. Kamp Sturiswijk adalah tempat bagi orang-orang Belanda, tawanan Kolonialisme Jepang pada saat itu, namun setelah pengumuman resmi takluknya Jepang kepada sekutu, para tawanan akan dipindahkan ke Bandung oleh mantan tentara KNIL dan tentara Inggris. Geertje telah tinggal di Kamp Struiswijk semenjak Jepang tiba di Hindia-Belanda, ia ditawan bersama dengan Ibu, Ayah, dan Saudara laki-lakinya. Ayah dan Saudara laki-lakinya dikirim ke Burma tanpa meninggalkan pesan sedangkan Geertje dan Ibu nya menjadi tawanan di Kamp. Ibu Geertje meninggal karena kolera, penyakit diare dan dehidrasi yang diakibatkan oleh air minum yang tidak bersih. Pagi itu, ditengah pemindahan tawanan dari Kamp Struiswijk, Gertjee tidak berniat untuk mengikuti pemindahan tawanan ke Bandung, ia memutuskan untuk pulang kerumah nya sendiri di Gunung Sahari. Diceritakan kemudian Geertje diantar oleh Martin menuju rumahnya terdahulu, disana mereka menjumpai rumah masa kecil Geertje terlihat menyedihkan, kotor, dan tidak terawat, kecuali rumput pekarangan yang tampak belum lama dipangkas. Dalam penasaranya, mereka mencoba masuk dan bertemulah mereka dengan Iyah, pembantu rumah tangga Geertje, seorang pribumi yang diizinkan tinggal oleh perwira-perwira Jepang untuk melayani mereka saat perwira-perwira itu menyabotase rumah Geertje dan tinggal disana. Berbulan kemudian, Martin dan Geertje pun tidak berjumpa. Setelah mendengar kabar adanya serangan besar-besaran ke pelbagai wilayah sekitar Gunung Sahari secara rapi dan terencana oleh Laskar dan Bumiputera, membuat Martin tergerak untuk kembali berkunjung ke rumah Geertje, memastikan bahwa ia tidak mati berlumuran darah akibat serangan yang terjadi malam itu. Dalam kunjunganya, Martin tidaklah menjumpai tubuh dari Geertje melainkan yang ia temukan adalah fakta bahwa Geertje adalah seorang Anti-kolonialis dan ia memutuskan untuk berada di pihak nasionalis Indonesia untuk mempertahankan negeri yang ia tempati semenjak lahir. ”Selamat tinggal Hindia Belanda. Selamat datang Repoeblik Indonesia” tulisnya dalam cermin kaca yang digores menggunakan pemerah bibir.

Selamat Tinggal Hindia mengambil latar waktu pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pasca menyerahnya Jepang kepada sekutu yang bisa disimpulkan itu terjadi pada tahun 1945. Kondisi sosial yang terdampak pasca kekalahan Jepang tergambarkan melalui narasi awal cerita dimana Martin dan Dullah dihadang oleh barikade Laskar berikat kepala merah putih. Iksana Banu menggambarkan ketidakstabilan keamanan, lumpuhnya otoritas, dan ambiguitas logika perjuangan dalam narasi ini dengan diceritakanya bagaimana Laskar mencoba melucuti Martin dan Dullah, merampas rokok, menodongkan senjata, dan mengancam akan melakukan pembunuhan kepada Martin, jika ia melakukan perlawanan. Dullah, seorang pribumi, sopir Martin pada saat itu, menganggap Laskar tersebut adalah orang-orang yang hanya mengaku-ngaku sebagai pejuang, namun kehadiranya malah meresahkan warga pribumi khususnya warga eropa yang masih tinggal di Indonesia kala itu, mereka keluar-masuk rumah penduduk, minta makanan atau uang bahkan juga sering kali mengganggu perempuan-perempuan yang mereka temui. Dalam penjabaran narasi ini kita bisa melihat bagaimana keadaan sosial pasca kolonoalisme identik dengan lemahnya keamanan lingkungan, kejahatan tidak terkendali, dan merajalelanya ambiguitas kekuasaan. Hal ini kemudian didukung oleh pernyataan Jan Schurck yang berkata bahwa:

“Proklamasi kemerdekaan serta lumpuhnya otoritas setempat membuat para pemuda pribumi kehilangan batas logika antara ‘berjuang’ dan ‘bertindak jahat’. Rasa benci turun-temurun terhadap orang kulit putih serta mereka yang dianggap kolaborator, tiba-tiba seperti menemukan pelampiasannya di jalan-jalan lengang, di permukiman orang Eropa yang berbatasan langsung dengan kampung pribumi,”

Latar belakang keadaan sosial inilah, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran Martin terhadap kondisi Geertje setelah malam pertempuran itu, Martin khawatir seorang perempuan yang ia kenal baik, hidup sendiri, dan berusaha membangun kembali rumahnya yang telah lama ia tinggal, tiba tiba dibunuh oleh para Laskar karena wajah dan fisik Belandanya.

Lebih dalam melihat bagaimana karakterisasi dan relasi Geertje dengan pasca kolonialisme Hindia Belanda, tersirat sebuah fakta menarik tentang Geeertje bagaimana ia menganggap Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaanya atau yang pernah ia sebut Hindia Belanda sebagai tanah kelahiranya dan tempat ia tinggal di hari tua. Diceritakan bahwa Geertje tidak pernah sama sekali mengenal dan terbesit keinginan untuk pulang ke tanah nenek moyangnya di Belanda, semenjak lahir, tumbuh kembang sebagai anak-anak, remaja, hingga dewasa dan menjumpai ibunya mati meninggalkan dia, Geertje hidup di Indonesia. Dia banyak berinteraksi dengan pribumi, dia cinta keragaman budaya lokal, dia cinta orang-orang pribumi dan ia pun juga merasa dicintai oleh pribumi.

“Engkau menyatu dengan alam dan penduduk di sini. Mereka juga menyukaimu. Mungkin mencintaimu setulus hati,” kataku. “Tapi zaman ‘tuan’ dan ‘babu’ ini akan segera berakhir.”

Geertje juga menganggap bahwa kemerdekaan dan kemandirian tanah kelahiranya dari kolonialisme patutlah untuk diperjuangkan. Dalam hal ini, kita kemudian bisa meliihat bagaimana ambivalensi identitas dan keberpihakan yang dialami oleh Geertje. Dalam satu sisi dia adalah orang Belanda, dia dilahirkan dari orang tua berdarah Belanda, dan mempunyai ciri-ciri fisik sebagai orang Belanda. Namun, di sisi lain, hati nurani nya bekata bukan Belanda beserta alamnya lah yang membuat Geertje hidup selama ini, namun Hindia-Belanda atau Indonesia beserta pribumi, kekayaan alam, dan ragam budaya nya lah yang telah membuat Geertje hidup dan bertumbuh dewasa. Geertje merasa ia tidak penah mengenal identitas Belanda lebih dekat melebihi identitas Indonesia yang telah melekat dalam diri dan lingkungan sosialnya. Hal ini secara tersirat disampaikan dalam dialog Geertje dan Martin, yakni:

“Bila api revolusi telah berkobar, tak ada yang bisa menahan,” Geertje menghentikan laju jemarinya di atas tuts. “Mereka hanya ingin mandiri, seperti kata ayahku dulu. Ayah pengagum Sneevlit. Ia siap kehilangan hak-hak istimewanya di sini. Aku sendiri seorang guru sekolah pribumi. Lahir, besar di tengah para pribumi.”

Aplikasi teori postcolonialism dalam “Selamat Tinggal Hindia” dapat kita lihat dari bagaimana Kolonialisme berdampak pada ambivalensi identitas dan keberpihakan Geertje. Cerita Geertje dalam “Selamat Tinggal Hindia” adalah salah satu contoh konkrit bagaimana kolonialisme dapat begitu berdampak pada cara seorang manusia mengenali identitas jati diri nya sebagai bagian dari sebuah komunitas atau sebuah bangsa. Mengutip apa yang disampaikan Aschroft, Griffits, dan Tiffin (1998) pada halaman 12–14, ambivalensi identitas menggambarkan percampuran hubungan kompleks antara subjek penjajah dan subjek yang terjajah. Hal ini dapat terjadi karena adanya fluktuasi dalam hubungan mereka, subjek-subjek ambivalen tidak pernah secara sederhana dan sepenuhnya menentang penjajah ataupun melindungi yang terjajah, mereka berada dalam posisi sentral namun tidak netral, cenderung bias dalam masing-masing kelompok jika dilhat dalam sudut pandang subjektif penjajah dan pribumi, namun ia sebenarnya dalam posisi dimana dia menginginkan sesuatu dan menentang sesuatu yang berlawan dari apa yang dia inginkan. Dalam penerapan praktik kolonialisme, ambivalensi identitas dan keberpihakan penjajah ini terkadang dapat menganggu dominasi otoritas kolonial karena secara tidak langsung dapat merancukan ideologi kolonial dalam usaha nya untuk mereproduksi asumsi, kebudayaan, dan nilai-nilai yang seharusnya dijalankan oleh pribumi (subjek terjajah).

Kembali pada karakter Geertje, kita bisa melihat bagaimana fluktuasi dinamika pikiran dan perasaan Geertje dalam menentukan pilihan identitas dan keberpihakanya nya selepas bebas sebagai tawanan dari kamp Struiswijk. Dia menganggap bahwa dominasi kolonialisme Belanda telah usai, dan Indonesia sudah memperjuangkan kemerdekaanya. Nasibnya sebagai satu-satu nya orang Belanda yang selamat dalam keluarga nya, dan hidup sendiri, tidak memiliki kerabat dalam hal ini ibu, ayah, dan saudara yang sudah tidak berada di Indonesia, memaksa Greetje untuk akhirnya segera memutuskan bahwa segala nasib yang menimpa dirinya akan ia perjuangkan untuk tetap tinggal di Indonesia. Pandangan mengenai perjuangan dan pembelaan atas keberpihakan orang-orang Belanda kepada pribumi sudah Geertje adaptasi dari Ayahnya. Seperti yang dikatakan oleh Geertje “Ayahku adalah pecinta Sneevlit”. Bila ditelusuri lebih lanjut, Henk Sneevlit merupakan tokoh komunis yang aktif dalam melawan kekuasaan Belanda dan memperjuangkan hak hak buruh pribumi dan orang-orang belanda di era tahun 1914–1918. Sinyal-sinyal keberpihakan kepada pribumi sudah Geertje adaptasi dari pemikiran ayahnya dan Sneevlit. Bagaimanapun juga Hindia-Belanda adalah tanah kelahiranya, dan hak-hak pribumi sebagai manusia haruslah juga patut untuk diperjuangkan. Selain itu, pengalamnya menjadi tawanan Jepang di Kamp Struiswijk telah mengajarkan dia bagaimana pahitnya menjadi budak dipaksa untuk bekerja dan hidup dalam ketidak mampuan untuk melawan. Pengalaman ini membawa ia dalam pemahaman akan bagaimana rasa menjadi seperti pribumi, bekerja dengan upah yang sedikit, tunduk akan perintah, dan dilemahkan sebagai manusia. Rasa simpati nya terbangun semenjak itu, disamping itu pula Geertje merasa bahwa dia tidak memiliki hubungan spesial dengan Belanda sebagai identitas fisiknya, dia tidak tahu apa-apa soal Belanda, namun soal Indonesia dia tahu banyak hal, salah satunya lagu si Patoka’an yang ia nyanyikan.

“Saat Jepang berkuasa, kusadari bahwa Hindia Belanda bersama segala keningratannya telah usai. Aku harus berani mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dan apa pun yang ada di ujung nasib, aku akan tetap tinggal di sini. Bukan sebagai ‘penguasa’, seperti istilahmu. Entah sebagai apa. Jepang telah memberi pelajaran, pahitnya menjadi jongos atau babu. Setelah kemarin hidup makmur, bukankah memalukan lari di saat orang-orang ini butuh bimbingan kita?”

Dari paparan di atas, kita bisa melihat bagaimana posisi Geertje dalam hubungan sosialnya pada saat itu, di mata orang-orang Belanda, bahkan sempat disimpulkan oleh Martin, Geertje adalah pengkhianat karena dia lebih memilih untuk membela dan berpihak pada Indonesia merdeka daripada membantu merebut Indonesia kembali ke tangan Belanda. Namun dalam posisi nya di mata pribumi, dia tetaplah dianggap sebagai bagian dari kolonial, karena secara fisik dia adalah orang Belanda. Hal ini tentunya mengakibatkan ketidakpercayaan bagi pribumi, dan juga dapat menimbulkan sesuatu yang berbahaya bagi Geertje karena ketidakstabilan keamanan pada saat itu untuk orang-orang Eropa. Geertje tidak berada dalam posisi netral, dalam setiap sudut pandang yang berlawanan ia masih dinilai bias kepada salah satu kelompok. Namun, di akhir cerita kita dapat melihat bagaimana perubahan karakterisasi dari Geertje, dimana ambivalensinya akan identitas dan keberpihakan, sudah menjadi suatu yang pasti. Dia benar memilih untuk berada di pihak Indonesia dan memutuskan bergabung dengan para pemberontak, meyakinkan pribumi dan memulai memperkenalkan dirinya sebagai “Zamrud Khatulistiwa atau “Ibu Pertiwi” melalui siaran radio gelap yang beredar pada saat itu. Ambisi Geertje begitu kuat sebagai langkahnya untuk menjadi dan menerima identitas Indonesia yang melekat pada dirinya. Geertje bersama dengan para pemberontak diserang oleh NICA dirumahnya dan bisa melarikan diri. Dibawah bunker rumahnya ia menyimpan banyak bahan propaganda anti NICA dan goresan di cermin wastafel yang menggemparkan mata Martin, bertuliskan:

‘Selamat tinggal Hindia Belanda. Selamat datang Repoeblik Indonesia’.

Dari pernyataan itu, dapat disimpulkan bahwa dinamika identitas dan keberpihakan Greetje sudah mencapai puncak dan terhenti. Dia memilih untuk menjadi bagian Republik Indonesia. Bagi Geertje, keberpihakannya jelas. Indonesia adalah tanah air, tumpah darahnya. Dia tahu dimana ia berpijak “Ini tanahku, Ini rumahku. Apapun yang ada di ujung nasib, aku tetap tinggal di sini,” ikrarnya. Iksana Banu menarasikan latar belakang alasan dan pemikiran Geertje dalam menentukan keperbihakan kepada Indonesia dengan sangat baik. Salah satu fakta menarik dan pesan menarik yang bisa kita ambil serta telaah dari cerita pendek ini adalah ternyata ada sebagian oknum-oknum orang Belanda yang membela hak-hak pribumi sebagai manusia. Mereka menyadari bahwa penjajahan Belanda kepada pribumi itu buruk dan merugikan kemanusiaa. Sekilas Sneevlit dan dinamika Geertje memberikan gambaran kepada pembaca untuk mengetahui dan memahami sudut pandang ini. Sneevlit dan Geertje merupakan contoh orang-orang Belanda yang berpihak kepada pribumi, buruh, dan hak-hak kemanusiaan untuk diperjuangkan. Mereka percaya bahwa sejatinya sebuah bangsa itu perlu untuk dimerdekakan dan dibebaskan dari segala bentuk penjajahan. Tanpa meragukan identitas fisik mereka sebagai orang Belanda, rasa, pemahaman, dan kepedulian mereka kepada pribumi dan tanah air kelahiran bagi Geertje membuat mereka dalam posisi keberpihakan kepada nasib-nasib Hindia-Belanda yang telah usai dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bersama pribumi.

Iksana Banu. “Selamat Tinggal Hindia”, Koran Tempo, 28 Oktober 2012.

Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, and Helen Tiffin. 2001. Post-Colonial Studies: The Key Concepts. London: Routledge.

--

--

No responses yet